Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa Outlook pertumbuhan ekonomi global diprakirakan relatif stagnan dengan berbagai risiko dan tantangan. Dalam laporan terbaru World Economic Outlook April 2024, IMF memproyeksikan ekonomi global stagnan di level 3,2% yoy di tahun 2024. Sementara itu, perekonomian Amerika Serikat (AS) tumbuh pada level 2,5% yoy di tahun 2023, dan diprakirakan kembali menguat ke 2,7% yoy di tahun 2024 seiring dengan kuatnya permintaan domestik dan aktivitas manufaktur AS yang masih ekspansif. Masih kuatnya kinerja ekonomi AS tersebut diikuti dengan kembali meningkatnya laju inflasi dalam beberapa bulan terakhir, sehingga mendorong potensi penundaan dimulainya pemangkasan suku bunga acuan The Fed (high for longer).
"Di sisi lain, Tiongkok diprakirakan tumbuh melambat dari 5,2% yoy di tahun 2023 ke level 4,6% yoy di tahun 2024. Memasuki bulan April 2024, dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan kecenderungan ke arah negatif akibat eskalasi perang di Timur Tengah dan ketegangan geopolitik yang makin tinggi. Kebijakan moneter AS yang cenderung mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama - dan penundaan pemangkasan suku bunga federal (Fed Fund Rate) – serta tingginya yield US Treasury telah menyebabkan terjadinya arus modal portfolio keluar dari negara-negara emerging dan pindah ke AS serta menyebabkan penguatan mata uang US Dollar dan melemahnya nilai tukar mata uang berbagai negara. Ke depan, risiko terkait potensi penundaan pemangkasan FFR, tingginya yield US Treasury, penguatan US Dollar dan eskalasi ketegangan geopolitik global akan terus dicermati. KSSK terus siaga mengantisipasi dengan respons kebijakan yang sinergis dan efektif untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan tekanan dan ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik dan stabilitas sistem keuangan Indonesia."ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Selanjutnya Sri Mulyani menjelaskan bahwa di tengah dinamika ketidakpastian global, kinerja ekonomi Indonesia masih cukup resilien. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2024 diprakirakan tetap berada di atas 5,0% dan menguat dibandingkan triwulan IV tahun 2023 didukung permintaan domestik yang tetap kuat, baik di sisi konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan konsumsi LNPRT, seiring dengan penyelenggaraan Pemilu, kenaikan gaji ASN, dan pemberian THR dengan Tukin 100%. Sementara itu, investasi bangunan lebih tinggi dari prakiraan, ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan aktivitas konstruksi properti swasta sebagai dampak positif dari insentif Pemerintah. Adapun, kinerja ekspor diprakirakan masih belum cukup kuat sejalan dengan moderasi harga sejumlah komoditas dan lemahnya permintaan global. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diprakirakan tetap di atas 5,0%.
"Ketahanan eksternal ekonomi nasional cukup stabil dengan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia (BI) terus diarahkan untuk menjaga stabilitas Rupiah. Pada akhir triwulan I 2024, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,89% ytd (per tanggal 28 Maret 2024), lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lainnya seperti Baht Thailand (6,41% ytd) dan Ringgit Malaysia (2,97% ytd). Kinerja Rupiah yang terjaga tersebut ditopang oleh kebijakan stabilisasi BI dan surplus neraca perdagangan barang. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Pada April 2024, tekanan terhadap mata uang global berlanjut sejalan makin meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang mendorong terus menguatnya dolar AS. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) menguat tajam mencapai level tertinggi 106,25 pada tanggal 16 April 2024 atau mengalami apresiasi 4,86% dibandingkan dengan level akhir tahun 2023. Perkembangan ini memberikan tekanan depresiasi kepada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar Rupiah. Pada penutupan pasar tanggal 26 April 2024, Yen Jepang dan Won Korea masing-masing melemah 10,92% dan 6,34% ytd, sedangkan mata uang kawasan seperti Baht Thailand melemah 7,63% ytd. Sementara itu, pelemahan Rupiah sampai dengan 26 April 2024 tercatat lebih rendah yakni 5,02% ytd. Perkembangan ini didukung respons BI yang terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah antara lain dengan mengoptimalkan instrumen moneter yang tersedia, memperkuat strategi operasi moneter pro-market guna menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri, dan terus memperkuat koordinasi untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023."tambahnya.
Selain itu Sei Mulyani mengatakan bahwa inflasi terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Maret 2024 tercatat sebesar 3,05% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,77% yoy dan inflasi administered prices (AP) yang menurun menjadi 1,39% yoy. Adapun inflasi volatile food (VF) meningkat menjadi 10,33% yoy dari 8,47% yoy pada bulan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh faktor musiman periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan pergeseran musim tanam akibat dampak El-Nino. Sementara itu, inflasi IHK April 2024 menurun menjadi 3,00% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,82% yoy, serta inflasi VF dan AP yang menurun menjadi 9,63% yoy dan 1,54% yoy. Ke depan, Pemerintah dan BI meyakini inflasi IHK 2024 tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi. Inflasi VF juga akan kembali menurun seiring peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi TPIP dan TPID melalui berbagai kebijakan stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) serta GNPIP di berbagai daerah. Untuk itu, bauran kebijakan fiskal dan moneter terus diperkuat guna memitigasi risiko yang dapat memberikan tekanan terhadap inflasi, termasuk dari kenaikan imported inflation serta kenaikan harga energi dan pangan global. Sinergi dan koordinasi dalam forum TPIP dan TPID juga akan terus diperkuat sehingga dapat memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
"Kinerja APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus, di tengah ketidakpastian perekonomian global yang masih eskalatif. Pendapatan negara terkontraksi 4,1% yoy sedangkan belanja negara tumbuh tinggi 18,0% yoy untuk menopang berbagai agenda pembangunan. Realisasi APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus sebesar Rp8,1 triliun atau 0,04% PDB, keseimbangan primer positif sebesar Rp122,1 triliun, serta rasio utang yang terjaga di kisaran 38,79% dari PDB."tandasnya.
Selanjutnya Sri Mulyani menjelaskan bahwa di tengah dinamika ketidakpastian global, kinerja ekonomi Indonesia masih cukup resilien. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I 2024 diprakirakan tetap berada di atas 5,0% dan menguat dibandingkan triwulan IV tahun 2023 didukung permintaan domestik yang tetap kuat, baik di sisi konsumsi pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan konsumsi LNPRT, seiring dengan penyelenggaraan Pemilu, kenaikan gaji ASN, dan pemberian THR dengan Tukin 100%. Sementara itu, investasi bangunan lebih tinggi dari prakiraan, ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan aktivitas konstruksi properti swasta sebagai dampak positif dari insentif Pemerintah. Adapun, kinerja ekspor diprakirakan masih belum cukup kuat sejalan dengan moderasi harga sejumlah komoditas dan lemahnya permintaan global. Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 diprakirakan tetap di atas 5,0%.
"Ketahanan eksternal ekonomi nasional cukup stabil dengan kebijakan nilai tukar Bank Indonesia (BI) terus diarahkan untuk menjaga stabilitas Rupiah. Pada akhir triwulan I 2024, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,89% ytd (per tanggal 28 Maret 2024), lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lainnya seperti Baht Thailand (6,41% ytd) dan Ringgit Malaysia (2,97% ytd). Kinerja Rupiah yang terjaga tersebut ditopang oleh kebijakan stabilisasi BI dan surplus neraca perdagangan barang. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2024 tetap tinggi sebesar 140,4 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Pada April 2024, tekanan terhadap mata uang global berlanjut sejalan makin meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global yang mendorong terus menguatnya dolar AS. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) menguat tajam mencapai level tertinggi 106,25 pada tanggal 16 April 2024 atau mengalami apresiasi 4,86% dibandingkan dengan level akhir tahun 2023. Perkembangan ini memberikan tekanan depresiasi kepada hampir seluruh mata uang dunia, termasuk nilai tukar Rupiah. Pada penutupan pasar tanggal 26 April 2024, Yen Jepang dan Won Korea masing-masing melemah 10,92% dan 6,34% ytd, sedangkan mata uang kawasan seperti Baht Thailand melemah 7,63% ytd. Sementara itu, pelemahan Rupiah sampai dengan 26 April 2024 tercatat lebih rendah yakni 5,02% ytd. Perkembangan ini didukung respons BI yang terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah antara lain dengan mengoptimalkan instrumen moneter yang tersedia, memperkuat strategi operasi moneter pro-market guna menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri, dan terus memperkuat koordinasi untuk implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023."tambahnya.
Selain itu Sei Mulyani mengatakan bahwa inflasi terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1%. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Maret 2024 tercatat sebesar 3,05% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,77% yoy dan inflasi administered prices (AP) yang menurun menjadi 1,39% yoy. Adapun inflasi volatile food (VF) meningkat menjadi 10,33% yoy dari 8,47% yoy pada bulan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh faktor musiman periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) dan pergeseran musim tanam akibat dampak El-Nino. Sementara itu, inflasi IHK April 2024 menurun menjadi 3,00% yoy, ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,82% yoy, serta inflasi VF dan AP yang menurun menjadi 9,63% yoy dan 1,54% yoy. Ke depan, Pemerintah dan BI meyakini inflasi IHK 2024 tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diprakirakan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang terjangkar dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi. Inflasi VF juga akan kembali menurun seiring peningkatan produksi akibat masuknya musim panen dan dukungan sinergi pengendalian inflasi TPIP dan TPID melalui berbagai kebijakan stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) serta GNPIP di berbagai daerah. Untuk itu, bauran kebijakan fiskal dan moneter terus diperkuat guna memitigasi risiko yang dapat memberikan tekanan terhadap inflasi, termasuk dari kenaikan imported inflation serta kenaikan harga energi dan pangan global. Sinergi dan koordinasi dalam forum TPIP dan TPID juga akan terus diperkuat sehingga dapat memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
"Kinerja APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus, di tengah ketidakpastian perekonomian global yang masih eskalatif. Pendapatan negara terkontraksi 4,1% yoy sedangkan belanja negara tumbuh tinggi 18,0% yoy untuk menopang berbagai agenda pembangunan. Realisasi APBN sampai dengan triwulan I tahun 2024 masih surplus sebesar Rp8,1 triliun atau 0,04% PDB, keseimbangan primer positif sebesar Rp122,1 triliun, serta rasio utang yang terjaga di kisaran 38,79% dari PDB."tandasnya.