Sejarah Masjid Agung Al-Falah di kota Jambi sangat erat kaitannya dengan kekayaan peninggalan kerajaan Melayu Jambi. Tanah tempat Masjid Agung berdiri saat ini dulunya merupakan pusat kerajaan Melayu Jambi, sebuah tempat yang memiliki makna sejarah yang besar. Setelah penjajahan Belanda pada tahun 1885, kawasan ini diubah menjadi pusat administrasi dan benteng Belanda, menandai perubahan signifikan dalam tujuan dan fungsinya.
Asal muasal Masjid Agung Al-Falah dapat ditelusuri dari bekas pekarangan Istana Tanah Pilih, yang dulunya milik Sultan Thaha Syaifuddin. Masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid 1000 Pilar ini, meski hanya memiliki 256 pilar, dibangun antara tahun 1971 hingga 1980. Desain arsitekturnya menyerupai paviliun terbuka dengan banyak pilar penyangga dan kubah besar yang memahkotai strukturnya, melambangkan perpaduan budaya dan budaya. unsur sejarah.
Pada tahun 1858, Sultan Thaha Syaifuddin naik tahta Kesultanan Jambi dan segera membatalkan semua perjanjian yang dibuat Belanda dengan mendiang ayahnya, dengan alasan dampak buruknya terhadap kerajaan. Tindakan berani ini membuat marah Belanda, yang mengancam akan menyerang istana sebagai balasannya. Peninggalan Masjid Agung Al-Falah tidak hanya menjadi bukti kemegahan arsitektur namun juga menjadi pengingat narasi sejarah abadi yang membentuk identitas kawasan.
Namun Sultan Thaha malah melancarkan serangan terhadap posisi Belanda di daerah Kumpe. Pasukan Belanda membalas dan merobohkan kompleks Istana Tanah Pilih. Pada tahun 1906, lokasi bekas istana sultan diubah menjadi barak tentara Belanda yang digunakan sebagai pusat pemerintahan Karesidenan. Pada masa kemerdekaan hingga tahun 1970-an, lokasi tersebut tetap difungsikan sebagai barak militer di Jambi.
Awalnya, ide pembangunan Masjid Raya muncul pada tahun 1960-an oleh pemerintah Jambi bersama tokoh-tokoh Islam di Jambi. Namun proses pembangunan masjid baru dimulai pada tahun 1971. Para ulama dan tokoh agama di Jambi, termasuk M.O. Bafaddal, H Hanafi, Nurdin Hamzah, dan gubernur saat itu (Tambunan atau Nur Admadibrata), sepakat untuk membangun masjid raya di lokasi tersebut dan merelokasi barak militer. Salah satu alasan dibangunnya masjid di lokasi bersejarah tersebut karena mengacu pada lambang Jambi yang menampilkan gambar masjid. Masjid Agung Al-Falah kota Jambi diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 29 September 1980.
Bangunan kebanggaan masyarakat Jambi ini berdiri di atas lahan seluas lebih dari 26.890 meter persegi atau lebih dari 2,7 hektar, sedangkan bangunan masjid seluas 6.400 meter persegi dengan dimensi 80m x 80m, mampu menampung 10 orang. seribu jamaah sekaligus. Sejak awal, struktur Masjidil Haram tetap dipertahankan sesuai bentuk aslinya. Kalaupun ada renovasi, hanya penambahan ukiran pada mihrab imam, tanpa mengubah bentuk asli masjid, dan penggantian balutan tiang pada tahun 2008.
Masjid Agung Al-Falah Kota Jambi dibangun dengan kubah besar dan menara yang menjulang tinggi. Seluruh bangunan masjid terbuat dari beton bertulang. Jika dilihat sekilas, deretan tiang-tiang ramping berwarna putih pada masjid ini mirip dengan tiang-tiang masjid agung di Roma, Italia, yang dibangun jauh lebih lambat dibandingkan masjid Al-Falah di Jambi.
Deretan ratusan tiang di masjid Al-Falah terbagi menjadi dua bentuk. Bentuk pertama terdiri dari tiang-tiang ramping berwarna putih dengan tiga spiral ke atas menopang atap luar masjid. Bentuk tiang yang kedua terdiri dari tiang-tiang berbentuk silinder berbalut tembaga yang menopang struktur kubah di area tengah masjid. Penggunaan material tembaga pada penutup pilar berbentuk silinder ini memberikan kesan antik namun megah pada interior masjid Al-Falah.
Didesain sebagai bangunan terbuka tanpa pintu dan jendela, sangat selaras dengan nama masjid. Al-Falah dalam bahasa Arab jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Kemenangan yang mengandung makna kebebasan tanpa batasan. Mungkin filosofi inilah yang menjadi dasar dibangunnya masjid ini dengan konsep terbuka, sehingga memungkinkan umat Islam dari mana saja untuk masuk dan menunaikan ibadah di masjid ini.
Sedangkan bagian dalam kubah dihiasi hiasan garis-garis simetris menyerupai garis lintang dan bujur pada bola dunia. Sebuah cincin besar di bawah kubah dihiasi lukisan kaligrafi Al-Qur'an berwarna emas. Lampu gantung tembaga berukuran sangat besar mempercantik tampilan ruang di bawah kubah, menambah kemegahan interior masjid.
Arsitektur dan desain masjid mencerminkan perpaduan unsur tradisional dan modern, menciptakan suasana tenang dan megah bagi jamaah. Detail rumit dan keahlian dalam pembangunan masjid menunjukkan apresiasi yang mendalam terhadap seni dan arsitektur Islam. Masjid Al-Falah berdiri sebagai simbol pengabdian spiritual dan keindahan arsitektur, mengundang seluruh umat Islam untuk berkumpul dalam doa dan refleksi di dalam tembok sucinya.