Jam Gadang, landmark ikonik di Bukittinggi

 Jam Gadang, berdiri sebagai menara jam terkemuka dan landmark ikonik di Bukittinggi Jam Gadang, yang diterjemahkan menjadi "Jam Besar" dalam bahasa Minangkabau, berdiri sebagai menara jam terkemuka dan landmark ikonik di Bukittinggi, Indonesia. Terletak di jantung kota, dekat dengan Pasar Ateh yang ramai, keajaiban arsitektur ini memiliki jam besar di semua sisinya, sehingga mudah terlihat dari berbagai titik di kota. Lokasinya yang strategis dan makna sejarahnya menjadikannya objek wisata populer, menarik pengunjung dari berbagai penjuru untuk mengagumi keindahannya dan mempelajari kekayaan warisannya.

sumber: wikipedia.org


Dibangun pada tahun 1926 pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Jam Gadang mempunyai tempat istimewa dalam sejarah Bukittinggi. Menara jam ini merupakan hadiah dari Ratu Wilhelmina kepada penguasa kota, melambangkan ikatan kuat antara Belanda dan wilayah tersebut. Dirancang oleh arsitek ternama Yazid Abidin dan Sutan Gigi Ameh, struktur ini merupakan bukti keahlian terampil dan kecakapan arsitektur penciptanya. Dengan biaya 3.000 gulden, bangunan ini berdiri sebagai simbol pertukaran budaya dan keunggulan arsitektur di jantung Sumatera Barat.

Dikelilingi oleh tanaman hijau subur di Taman Sabai Nan Aluih dan dekat dengan landmark penting seperti Pasar Ateh dan istana Mohammad Hatta, Jam Gadang berfungsi sebagai titik fokus bagi penduduk lokal dan wisatawan. Keberadaannya yang menjulang tinggi dan desainnya yang rumit mencerminkan kekayaan warisan budaya masyarakat Minangkabau, menambah pesona dan daya tarik Bukittinggi. Sebagai simbol ketepatan waktu dan warisan sejarah, Jam Gadang terus memikat hati dan pikiran semua orang yang memandang kemegahan fasadnya, mewujudkan semangat tradisi dan modernitas dalam harmoni yang sempurna.

Pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942 hingga 1945, patung ayam jantan asli yang menghiasi puncak menara Jam Gadang diganti dengan ornamen dekoratif menyerupai kuil Shinto. Namun setelah Indonesia merdeka, menara ini mengalami modifikasi lebih lanjut dan puncaknya diubah bentuknya menyerupai atap tradisional Minang yang terdapat di Rumah Gadang. Menariknya, mekanisme internal jam tersebut identik dengan yang ditemukan di Elizabeth Tower yang terkenal, juga dikenal sebagai Big Ben, yang terletak di London.

Sayangnya, pada tanggal 6 Maret 2007, menara Jam Gadang mengalami kerusakan akibat dua kali gempa bumi yang melanda Sumatera bagian barat. Pada tahun-tahun berikutnya, menara ini menjalani proses pemugaran menyeluruh yang dipimpin oleh Indonesia Heritage Trust, yang dikenal sebagai Badan Pelestarian Pusaka Indonesia. Proyek restorasi yang bernilai sekitar 600 juta rupiah (setara sekitar 55 ribu euro) ini mendapat pendanaan dari Belanda. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 2010, menara yang telah direnovasi ini diresmikan secara resmi dalam rangka perayaan HUT Bukittinggi ke-262.

Terlepas dari signifikansi arsitekturalnya, menara Jam Gadang telah melayani berbagai tujuan praktis sepanjang sejarahnya. Telah digunakan sebagai pos pengamatan jika terjadi kebakaran, termasuk yang berdampak pada Pasar Ateh. Selain itu, selama bulan suci Ramadhan, menara ini berperan penting dengan mengumandangkan azan yang menandai berakhirnya puasa harian. Tradisi budaya ini menambah pentingnya menara ini dalam komunitas lokal dan menyoroti perannya sebagai simbol ketaatan beragama dan persatuan komunal.

Struktur jam dan letak Jam Gadang di Bukittinggi cukup unik. Menara ini memiliki empat jam yang dibuat khusus di Recklinghausen, Jerman oleh Bernard Vortmann. Jam dengan diameter 80 sentimeter ini dikirim jauh-jauh dari Rotterdam. Berdiri di ketinggian 26 meter, dasar menara berukuran 13 kali 4 meter. Namun, yang membedakan jam ini adalah penggunaan angka "III" sebagai pengganti angka Romawi tradisional "IV" untuk angka 4. Ciri khas ini menambah pesona dan karakter menara.

Sebagai simbol ikonik Bukittinggi, menara Jam Gadang menarik banyak wisatawan. Hal ini dianggap sebagai daya tarik wisata utama kota dan sering digambarkan pada berbagai souvenir. Pengunjung Bukittinggi kerap memanfaatkan kesempatan ini untuk mengabadikan foto-foto kenangan di depan menara. Dulu, wisatawan diperbolehkan naik ke puncak menara, namun sejak 2016, diperlukan izin tertulis untuk melakukannya. Lokasi menara juga nyaman, dengan banyak hotel terletak di dekatnya. Selain itu, kereta kuda tradisional yang disebut bendi tersedia untuk berjalan-jalan di sekitar area tersebut.

Plaza Jam Gadang, yang terletak di dekat menara, telah menjadi pusat kegiatan dan perayaan budaya. Sejak tahun 2016, tarian tradisional Minang telah ditampilkan di sini, memberikan gambaran sekilas kepada wisatawan tentang budaya lokal. Selain itu, alun-alun ini berfungsi sebagai pusat perayaan Tahun Baru di Bukittinggi, yang menarik baik penduduk lokal maupun pengunjung. Dengan kekayaan sejarahnya, struktur jam yang unik, dan suasana yang semarak, Jam Gadang terus menjadi destinasi yang wajib dikunjungi bagi mereka yang menjelajahi keindahan Bukittinggi.

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn more
Ok, Go it!